Minggu, 30 Juni 2013

Satu Hati, Satu Cinta (Cerpenku)

      Matanya masih menerawang langit-langit kamar. Pikirannya bercabang, merambat hingga menembus batas kota Jepang. Angannya masih terus berkelana, hingga tengah malam tak mampu membuatnya lelah meski baru saja menempuh perjalanan jauh. Hatinya berkecamuk, ada luka yang kembali menganga, mencabik borok kering itu dengan paksa. Bukan karena banyaknya pekerjaan di kantor, bukan. Sekali lagi bukan, dia bahkan sudah terbiasa dengan sistem kerja di kantornya yang penuh dengan kedisiplinan. Masuk kerja pukul delapan pagi dan baru dapat melangkahkan kaki keluar gedung penjulang langit tersebut, ketika dewi malam telah berganti rembulan. Lima tahun yang sedikit mengubahnya menjadi individualis.
      “Kemarin, uwa mu dari Lampung datang, beliau tanya kapan kamu akan menikah? Untuk gadis seusiamu, sudah waktunya menikah. Uwa bilang, ada seorang pria menemui uwa, dia minta dicarikan seorang istri. InsyaAllah dia laki-laki yang baik, sudah PNS, berasal dari keluarga yang baik juga. Apa kamu bersedia untuk setidaknya bertemu dengan laki-laki itu terlebih dahulu?” Pertanyaan ibu yang tanpa basi-basi, untuk pertama kali membuatnya tidak kerasan pulang ke Negara asalnya, Indonesia.
       “Anne belum punya niat untuk menikah bu” Hanya itu yang dapat terucap, hatinya sudah terang-terangan menolak tawaran dari sang uwa. Masih saja ada yang membayanginya, dia tidak mungkin menikah tanpa cinta. Atau mungkin memang benar ucapan para sesepuh, cinta akan tumbuh seiring kebersamaan. Ah, tetap saja betapa teganya jika harus mengacuhkan hati yang telah lama menjadi safara, kering kerontang. Diam-diam hatinya berdoa, berharap keajaiban datang, mengubah takdir menjadi sekehendaknya.
        “Apa lagi yang kamu tunggu Anne? Ibu tidak mau, pengaruh Negara barat mengubah pola pikirmu, malas menikah. Kau tetap bangsa timur. Itu juga yang Rasul kita contohkan.” Kalimat ibu seketika melumpuhkannya, bagaimana bisa ibu tega menyamakannya dengan bangsa barat sana? Tidak terlintas dalam benaknya rasa enggan untuk menikah, dia ingin menikah, sungguh ingin. Ah, pikirannya kian kusut, seperti benang gelasan Dodo (teman kecilnya) ketika baru belajar menerbangkan layang-layang dulu.
         “Ibu, jangan begitu. Anne ingin menikah, tapi mungkin tidak dalam waktu dekat ini. Anne, Anne….” Sekuat mungkin ditahannya bulir-bulir permata dari sudut matanya. Mereka tampak lelah terus terkukung dalam kelopak.
           “Anne, kamu masih menunggunya?”
           “Maksud ibu?”
        “Anne, mata tidak pernah berdusta. Aku ini ibumu. Dari sejak kecil hingga sebesar ini kamu tidak pernah bisa membohongi ibu. Kamu harus tahu, lidah mudah saja berkelit karena dia penipu paling ulung. Tapi tidak dengan mata, mata selalu gagal untuk berbohong”
      “Maafkan aku bu. Aku tidak tahu mengapa aku masih saja menantinya, jelas-jelas aku yang menyuruhnya pergi dan tak pernah meminta untuk menungguku”
          “Anne, berdamailah dengan hatimu nak. Hidup tidak selamanya berjalan mulus sesuai dengan yang kita inginkan. Hidup juga bukan novel yang kita karang sendiri, hidup adalah novel karangan Allah. Kita hanya harus memainkan peran terbaik didalamnya. Meski hidup tidak selamanya menyenangkan, tapi hidup adalah sahabat sejatimu dan selalu memberikan yang terbaik.”
            “Aku rasa tidak selalu bu.”
         “Hidup selalu memberikan yang terbaik jika kita melakukan penerimaan dengan keikhlasan terbaik. Bahagia itu kita yang menciptakannya. Ingatlah kata Datuk Murni di madrasah dulu, Allah tahu yang terbaik nak.”
       “Aku tetap butuh waktu untuk memikirkannya masak-masak bu. Aku akan memberitahu ibu jawabannya secepat mungkin.”
            “Terimakasih nak”
      
       Percuma saja, kecerdasan IQ nya sekalipun tidak mampu membuat perkara ini mudah untuk dipecahkan. Pizza yang sedari sore dipesannya masih utuh tak tersentuh di atas meja. Laparnya sudah hilang setelah pikirannya kembali kalut. Hanya tetes-tetes sisa hujan dari pelapon yang menemani kesunyian malam di Jepang.

- Satu Hati, Satu Cinta -
           
        “Mba, ada yang ingin aku bicarakan.” Nina, ibu muda yang energik itu mulai membantu Wirda didapur. Minggu pagi selalu menjadi aktivitas rutin Nina membantu Wirda memasak. Karena hari-hari sebelumnya Nina harus selalu berangkat pagi dan pulang sore hari.
          “Iya Nina bicaralah.” Wirda masih sibuk dengan sup nya di atas kompor.
        “Apa Mba setuju jika aku menikah lagi?” Hati-hati Nina bicara. Nina tidak suka jika terlalu banyak basa-basi, Nina lebih suka berfokus pada pusat masalah.
     “Alhamdulillah. Benarkah Nina? Tentu saja aku setuju, sangat setuju. Bukankah sejak dulu aku menyuruhmu menikah lagi? Aris sangat membutuhkan figur seorang ayah.”
         “Tapi Mba, bukankah dengan begitu aku telah menghianati mas Hendra?”
    “Tidak Nina, Mas Hendra pasti senang jika Aris memiliki ayah yang dapat membimbing dan mendampinginya hingga dewasa. Terlebih akan ada laki-laki yang menjagamu.”
          “Mba tidak marah jika aku menikah lagi?”
          "Tentu saja tidak Nina. Siapa dia?”
        “Aku belum lama mengenalnya mba, mungkin baru sekitar 1 bulan yang lalu. Seorang teman kantor yang mengenalkan. Temanku bilang, ada seorang laki-laki yang sedang mencari istri, dia tidak peduli dengan status sosial, janda ataupun gadis. Memang usianya lebih muda dariku, dan walaupun dia belum pernah menikah sebelumnya tapi entah kenapa aku yakin dia akan mampu menjadi suami dan ayah yang baik untuk Aris. Temanku bilang dia tipikal orang yang tidak banyak syarat, yang penting wanita baik-baik dan patuh terhadap suami. Dia juga mau menerima Aris mbak.”
          “Sungguh aku sangat bahagia. Dua wanita yang begitu ku sayangi akan segera menemukan cintanya masing-masing.”
           “Maksud mbak Wirda apa?.”
       “Anne, dia sudah menerima pinangan laki-laki yang dikenalkan Uwa Ros. InsyaAllah bulan depan mereka menikah.”
         “Alhamdulillah, tapi mengapa cepat sekali pernikahannya? Apakah satu bulan tidak terlalu terburu-buru mbak?”
      “Itu permintaan Anne. Tapi bukankah lebih cepat lebih baik? Seminggu setelah aku menceritakan penawaran uwa Ros, dua minggu kemudian Anne pulang dan menyetujui perjodohan ini. Segera saja Uwa mempertemukan Anne dengan Teguh. Waktu itu kamu sedang dinas di Jogja, makanya kamu tidak tahu.”
      “Oh jadi begitu, pantas saja. Nina senang sekali mengdengarnya mbak. Mas Hilman juga berniat menikahiku bulan depan mbak. Kami ingin pernikahan sederhana saja yang penting segera dihalalkan.”
        “Benarkah Nina? Bagaimana jika pernikahanmu dan Anne diadakan dihari yang sama? Aku yakin Anne akan senang sekali.”
           “Tapi mbak, apa tidak menganggu acara pernikahan Anne?”
        “Tentu tidak Nina, biar bagaimanapun kamu juga ibunya Anne. Anne akan senang jika Aris akan segera memiliki ayah yang juga akan menjadi ayahnya.”
            
            Wirda tidak mampu menahan letupan kebahagian yang terpatik dari hatinya, dipeluknya Nina dengan begitu erat, erat dan tulus sekali. Tangisan dua wanita berhati mutiara itu pun seketika pecah menjadi tayangan haru pelengkap pagi.

- Satu Hati, Satu Cinta -
            
            Matanya lamat-lamat memperhatikan layar laptop. Niatnya sudah bulat namun lagi-lagi menjadi ragu ketika membaca alamat email di layar laptopnya. Tangannya yang sedari tadi disiapkan untuk mengirim pesan elektronik melalui email, tak kuasa untuk merangkai kalimat-kalimat dalam tempurung kepalanya. Pelan-pelan dia memulai, walau tanpa terasa dua jam menguras hatinya untuk menyusun sebuah surat nan panjang, beruntung ini hari minggu sehingga dia bisa dengan bebas menghabiskan waktunya.

“Assalamu’alaikum Wr Wb.

Bagaimana kabarmu di ibukota mas? Aku harap kau selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan Allah. Lama sudah tak bertegur sapa denganmu, membuat aku bingung harus darimana ku memulainya. Maaf jika aku telah lancang memasuki hidupmu kembali, tapi aku hanya ingin melunasi hutang janji diantara kita dahulu. Memberi kabar jika akan menikah.

Mas, entah apa yang harus ku katakan. Selayaknya aku memulainya dengan kata maaf. Maaf atas segala kekecewaanmu dulu padaku. Maaf atas ketidakpastian akhir kisah kita.

Sejak dulu, benih-benih perasaan itu telah bersemi dalam taman hatiku. Hanya saja, aku yang terlalu pengecut untuk mengakuinya, aku terlalu malu jika harus jujur mengenai hatiku yang telah tertawan olehmu.

Seiring berjalannya waktu ada berbagai sesal yang selalu saja membayangiku. Namun aku sadar, tidak selayaknya aku memintamu menungguku untuk waktu yang tidak dapat ku prediksikan. Kau harus tetap melanjutkan hidupmu, pencarianmu hingga kau dapat segera bermuara pada dermaga yang tepat.

Jika saja kau tau, aku menulis surat ini dengan hati yang penuh tentang. Kepergian ayah, tidak sampai membuatku sesakit ini. Sakit dan sesal yang sampai saat ini tak pernah hilang sejak saat aku mulai menyemai benih-benih cinta untukmu.

Aku yakin, Tuhan selalu tahu yang terbaik untuk setiap manusia, termasuk di dalamnya aku dan kamu mas. Meskipun dalam keyakinan itu, ada luka yang semakin hari semakin bernanah. Maafkan aku.

Kau tahu mas, ibu dan uwa ku di Lampung berniat menjodohkanku dengan seorang laki-laki. Begitu sulit rasanya aku mengambil keputusan yang biasanya ku lakukan dengan sangat mudah. Akhirnya aku menerima tawaran perjodohan ini meski dengan pergulatan hati.

Aku tahu hanya akan merusak suasana jika aku mengatakan semuanya. Tapi sungguh mas, aku tidak ingin terus terpenjara dalam perasaan yang tak pernah kubebaskan. Maafkan aku mencintaimu mas, maafkan aku. Bulan depan aku akan menikah. Aku sangat mengharapkan kedatanganmu mas…..

Salam rindu sahabatmu,

Anneke Lukman

- Satu Hati, Satu Cinta –

            “Assalamu’alaikum. Anne bagaimana kabarmu nak? Bunda harap kamu dalam keadaan sehat, aamiin. Ibu bilang lusa dan dua minggu yang lalu kamu pulang ke Bandung ya? Maaf ya bunda tidak bisa menyambutmu, bunda sedang ada dinas di Jogja, baru kemarin pulang. Bunda ikut senang mendengar kamu akan segera menikah. Oh iya bunda punya satu kabar untuk Anne, InsyaAllah bunda akan menikah, bulan depan. Ibu memberi saran bagaimana kalau pernikahan bunda dan Anne disatukan? Sebelumnya bunda minta maaf ya tidak meminta izin Anne terlebih dahulu untuk menikah.”
            Rona di wajahnya seketika berubah cerah, seperti ada suntikan kebahagiaan yang meskipun sedikit mampu menjadi pengurang dukanya.
            “Alhamdulillah, Anne senang sekali mendengarnya bunda. Wah bunda ini, diam-diam penuh kejutan ya. Ide bagus bunda, Anne setuju jika pernikahan kita digabungkan. Pasti akan sangat seru. Bunda dapat menantu baru dan aku dapat ayah baru, hehe. Btw, namanya siapa bun? Mau liat fotonya dong bun.”
          Pesan balasan pun diterimanya, namun kembali bahkan jauh lebih buruk dari sebelumnya. Air matanya kembali tumpah jauh lebih deras.
       Sebuah ketukan pintu dan ucapan salam mengejutkannya, seorang teman berdarah Arab bingung melihat air mukanya ketika membukakan pintu.
          “Assalamu’alaikum. What happened with you? Are you sick? I can accompany  you to go to doctor Anne”
           “No, Zulaikha, No. I’m fine.”
          “No dear, you are not fine. You look so bad, you must be in trouble. Could you tell me? Or you need shoulder to crying on? Please this.”
           Tanpa spasi Anne segera saja memeluk Zulaikha dan menangis sejadinya dalam dekapan Zulaikha.
            “You feel better Anne?”
            “Yes, thank you Zulaikha. May I tell you?”
            “Yes honey, please.”
            “Actually I’ll married next month, but I never love him”
            “Hei come on dear. You must belief, one day, you can love your husband then.”
            “Okay I know about that and I belief. But someone that I love will married with my second mom at the same time, next month”
            “MasyaAllah. I’m sad to hear that. But, lets by gones be by gones honey. Move on Anne. It’s only about time. I trust you. You are strong woman, good person, and I proud with you. Allah love you Anne. This is the best destiny for everyone, okay?”
            “Thank you Zulaikha”

- Satu Hati, Satu Cinta -
           “Saya terima nikahnya Nina Purnawan binti Suherman dengan mas kawin dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
           Hatinya yang sudah dilem kuat-kuat retak juga, bahkan telah hancur sama rata. Telinganya menjadi tuli oleh kalimat ijab qobul yang diucapkan Hilman atas ibunya sendiri. Sampai Teguh menyentuh tangannya dengan lembut, memberi isyarat bahwa dia telah sah menjadi istrinya. Anne nampak panik, namun Teguh menatapnya dengan penuh kelembutan seperti mengisyaratkan kata ‘tenanglah’.

- Satu Hati, Satu Cinta -
            
            “Anne, aku tahu kamu tidak pernah mencintaiku.” Teguh membuka pembicaraan diatas tempat tidur mereka, untuk pertama kalinya mereka berada dalam ruangan yang sama, dan hanya berdua.
            “Maafkan aku mas. Kau pasti juga sudah tau ada nama lain dihatiku dan jelas bukan namamu mas. Apakah kau ingin menceraikanku mas? Aku terima, bahkan jika harus dimalam pertama kita.”
       “Tidak Anne. Aku tidak pernah memaksamu untuk mencintaiku, tapi setidaknya bisakah kau mencobanya?”
             “Bagaimana jika aku tidak bisa mas? Atau bahkan jika aku tidak mau?”
           “Baiklah, tidak mengapa. Itu hak mu Anne. Aku tidak berhak memaksakan kehendakku padamu. Bisa mencintaimu saja sudah anugerah terindah, meski seumur hidup sekalipun cintaku tak akan pernah berbalas. Tapi yang perlu kamu tahu, aku akan tetap berusaha membuatmu bahagia. Aku hanya ingin melihat senyummu Anne.”
             “Mas, mana mungkin bisa kau jatuh cinta dengan orang yang baru saja kau kenal?”
             “Kau salah Anne, aku sudah mengenalmu sejak dulu, mungkin kamu yang tidak mengenalku.”
             “Maksudmu mas?”
            “Aku telah mengenalmu sejak kita masih kuliah. Aku dan Hilman adalah sahabat karib. Diam-diam aku menaruh hati denganmu namun aku segera mencoba menghilangkan perasaan itu, ketika aku tahu kamu dan Hilman saling mencintai. Beruntung aku mendapat tawaran beasiswa di kota lain dengan gambaran masa depan yang lebih cerah dan setidaknya aku bisa kembali menata hatiku. Namun ternyata aku salah, dimanapun aku berada aku selalu tidak dapat lepas dari bayanganmu. Sampai satu tahun setelah lulus aku bertemu Hilman, dan aku ketahui akhir hubungan kalian. Kata Hilman, dia mencoba meyakinkan perasaannya padamu. Berbekal dengan restu orang tua, dia coba melamarmu. Tidak ada dalam kamus seorang Hilman kata pacaran. Namun kamu menolaknya dengan alasan kalian masih kuliah dan kamu masih harus membiayai adik-adikmu. Hilman sadar dia memang tidak bisa banyak berjanji, maka pelan-pelanlah dia melangkah mundur. Sebenarnya Hilman ingin menunggumu tapi Hilman sadar kamu tidak pernah memintanya menunggu terlebih kamu pantas mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik darinya. Kira-kira satu setengah bulan yang lalu, Hilman memberi kabar bahwa akan menikahi seorang wanita yang ternyata ibumu. Dan saat itulah aku meminta izin padanya untuk mencoba melamarmu melalui bantuan uwa Ros. Alhamdulillah Hilman mengizinkan. Anne, aku tahu ini semua melukai hatimu, maafkan aku Anne.”
            Teguh mengambil sebuah bantal dan hendak tidur di atap lantai.
         “Mas Teguh, maafkan aku. Aku terlalu picik untuk melihat betapa mulianya dirimu. Aku tidak bisa berjanji akan segera mencintaimu. Tapi bisakah kau sedikit bersabar? Tidak, tidak sedikit mungkin banyak. Menumbuhkan cinta tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku ingin mencobanya mas.”
           “Alhamdulillah. Terimakasih Anne. Aku akan menantimu, InsyaAllah. Tidurlah Anne, belum saatnya. Saat itu akan tiba ketika kau sudah benar-benar yakin dan mencintaiku.”

            “Terimakasih Mas”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar