Matanya masih
menerawang langit-langit kamar. Pikirannya bercabang, merambat hingga menembus
batas kota Jepang. Angannya masih terus berkelana, hingga tengah malam tak
mampu membuatnya lelah meski baru saja menempuh perjalanan jauh. Hatinya
berkecamuk, ada luka yang kembali menganga, mencabik borok kering itu dengan
paksa. Bukan karena banyaknya pekerjaan di kantor, bukan. Sekali lagi bukan,
dia bahkan sudah terbiasa dengan sistem kerja di kantornya yang penuh dengan
kedisiplinan. Masuk kerja pukul delapan pagi dan baru dapat melangkahkan kaki
keluar gedung penjulang langit tersebut, ketika dewi malam telah berganti
rembulan. Lima tahun yang sedikit mengubahnya menjadi individualis.
“Kemarin, uwa mu dari Lampung
datang, beliau tanya kapan kamu akan menikah? Untuk gadis seusiamu, sudah
waktunya menikah. Uwa bilang, ada seorang pria menemui uwa, dia minta dicarikan
seorang istri. InsyaAllah dia laki-laki yang baik, sudah PNS, berasal dari
keluarga yang baik juga. Apa kamu bersedia untuk setidaknya bertemu dengan
laki-laki itu terlebih dahulu?” Pertanyaan ibu yang tanpa basi-basi, untuk
pertama kali membuatnya tidak kerasan pulang ke Negara asalnya, Indonesia.
“Anne belum punya niat untuk menikah
bu” Hanya itu yang dapat terucap, hatinya sudah terang-terangan menolak tawaran
dari sang uwa. Masih saja ada yang membayanginya, dia tidak mungkin menikah
tanpa cinta. Atau mungkin memang benar ucapan para sesepuh, cinta akan tumbuh
seiring kebersamaan. Ah, tetap saja betapa teganya jika harus mengacuhkan hati
yang telah lama menjadi safara, kering kerontang. Diam-diam hatinya berdoa,
berharap keajaiban datang, mengubah takdir menjadi sekehendaknya.
“Apa lagi yang kamu tunggu Anne? Ibu
tidak mau, pengaruh Negara barat mengubah pola pikirmu, malas menikah. Kau
tetap bangsa timur. Itu juga yang Rasul kita contohkan.” Kalimat ibu seketika
melumpuhkannya, bagaimana bisa ibu tega menyamakannya dengan bangsa barat sana?
Tidak terlintas dalam benaknya rasa enggan untuk menikah, dia ingin menikah,
sungguh ingin. Ah, pikirannya kian
kusut, seperti benang gelasan Dodo (teman kecilnya) ketika baru belajar
menerbangkan layang-layang dulu.
“Ibu, jangan begitu. Anne ingin
menikah, tapi mungkin tidak dalam waktu dekat ini. Anne, Anne….” Sekuat mungkin
ditahannya bulir-bulir permata dari sudut matanya. Mereka tampak lelah terus
terkukung dalam kelopak.
“Anne,
kamu masih menunggunya?”
“Maksud ibu?”
“Anne, mata tidak pernah berdusta.
Aku ini ibumu. Dari sejak kecil hingga sebesar ini kamu tidak pernah bisa
membohongi ibu. Kamu harus tahu, lidah mudah saja berkelit karena dia penipu
paling ulung. Tapi tidak dengan mata, mata selalu gagal untuk berbohong”
“Maafkan aku bu. Aku tidak tahu
mengapa aku masih saja menantinya, jelas-jelas aku yang menyuruhnya pergi dan
tak pernah meminta untuk menungguku”
“Anne, berdamailah dengan hatimu
nak. Hidup tidak selamanya berjalan mulus sesuai dengan yang kita inginkan.
Hidup juga bukan novel yang kita karang sendiri, hidup adalah novel karangan
Allah. Kita hanya harus memainkan peran terbaik didalamnya. Meski hidup tidak
selamanya menyenangkan, tapi hidup adalah sahabat sejatimu dan selalu
memberikan yang terbaik.”
“Aku rasa tidak selalu bu.”
“Hidup selalu memberikan yang
terbaik jika kita melakukan penerimaan dengan keikhlasan terbaik. Bahagia itu
kita yang menciptakannya. Ingatlah kata Datuk Murni di madrasah dulu, Allah
tahu yang terbaik nak.”
“Aku tetap butuh waktu untuk
memikirkannya masak-masak bu. Aku akan memberitahu ibu jawabannya secepat
mungkin.”
“Terimakasih nak”
Percuma saja, kecerdasan IQ nya
sekalipun tidak mampu membuat perkara ini mudah untuk dipecahkan. Pizza yang
sedari sore dipesannya masih utuh tak tersentuh di atas meja. Laparnya sudah
hilang setelah pikirannya kembali kalut. Hanya tetes-tetes sisa hujan dari
pelapon yang menemani kesunyian malam di Jepang.
-
Satu Hati, Satu Cinta -
“Mba, ada yang ingin aku bicarakan.”
Nina, ibu muda yang energik itu mulai membantu Wirda didapur. Minggu pagi
selalu menjadi aktivitas rutin Nina membantu Wirda memasak. Karena hari-hari
sebelumnya Nina harus selalu berangkat pagi dan pulang sore hari.
“Iya Nina bicaralah.” Wirda masih
sibuk dengan sup nya di atas kompor.
“Apa Mba setuju jika aku menikah
lagi?” Hati-hati Nina bicara. Nina tidak suka jika terlalu banyak basa-basi,
Nina lebih suka berfokus pada pusat masalah.
“Alhamdulillah. Benarkah Nina? Tentu
saja aku setuju, sangat setuju. Bukankah sejak dulu aku menyuruhmu menikah
lagi? Aris sangat membutuhkan figur seorang ayah.”
“Tapi Mba, bukankah dengan begitu
aku telah menghianati mas Hendra?”
“Tidak Nina, Mas Hendra pasti senang
jika Aris memiliki ayah yang dapat membimbing dan mendampinginya hingga dewasa.
Terlebih akan ada laki-laki yang menjagamu.”
“Mba tidak marah jika aku menikah
lagi?”
"Tentu saja tidak Nina. Siapa dia?”
“Aku belum lama mengenalnya mba,
mungkin baru sekitar 1 bulan yang lalu. Seorang teman kantor yang mengenalkan.
Temanku bilang, ada seorang laki-laki yang sedang mencari istri, dia tidak
peduli dengan status sosial, janda ataupun gadis. Memang usianya lebih muda
dariku, dan walaupun dia belum pernah menikah sebelumnya tapi entah kenapa aku
yakin dia akan mampu menjadi suami dan ayah yang baik untuk Aris. Temanku
bilang dia tipikal orang yang tidak banyak syarat, yang penting wanita baik-baik
dan patuh terhadap suami. Dia juga mau menerima Aris mbak.”
“Sungguh aku sangat bahagia. Dua
wanita yang begitu ku sayangi akan segera menemukan cintanya masing-masing.”
“Maksud mbak Wirda apa?.”
“Anne, dia sudah menerima pinangan
laki-laki yang dikenalkan Uwa Ros. InsyaAllah bulan depan mereka menikah.”
“Alhamdulillah, tapi mengapa cepat
sekali pernikahannya? Apakah satu bulan tidak terlalu terburu-buru mbak?”
“Itu permintaan Anne. Tapi bukankah
lebih cepat lebih baik? Seminggu setelah aku menceritakan penawaran uwa Ros, dua
minggu kemudian Anne pulang dan menyetujui perjodohan ini. Segera saja Uwa
mempertemukan Anne dengan Teguh. Waktu itu kamu sedang dinas di Jogja, makanya
kamu tidak tahu.”
“Oh jadi begitu, pantas saja. Nina
senang sekali mengdengarnya mbak. Mas Hilman juga berniat menikahiku bulan
depan mbak. Kami ingin pernikahan sederhana saja yang penting segera
dihalalkan.”
“Benarkah Nina? Bagaimana jika
pernikahanmu dan Anne diadakan dihari yang sama? Aku yakin Anne akan senang sekali.”
“Tapi mbak, apa tidak menganggu
acara pernikahan Anne?”
“Tentu tidak Nina, biar bagaimanapun
kamu juga ibunya Anne. Anne akan senang jika Aris akan segera memiliki ayah
yang juga akan menjadi ayahnya.”
Wirda tidak mampu menahan letupan
kebahagian yang terpatik dari hatinya, dipeluknya Nina dengan begitu erat, erat
dan tulus sekali. Tangisan dua wanita berhati mutiara itu pun seketika pecah
menjadi tayangan haru pelengkap pagi.
-
Satu Hati, Satu Cinta -
Matanya lamat-lamat memperhatikan
layar laptop. Niatnya sudah bulat namun lagi-lagi menjadi ragu ketika membaca
alamat email di layar laptopnya. Tangannya yang sedari tadi disiapkan untuk
mengirim pesan elektronik melalui email, tak kuasa untuk merangkai
kalimat-kalimat dalam tempurung kepalanya. Pelan-pelan dia memulai, walau tanpa
terasa dua jam menguras hatinya untuk menyusun sebuah surat nan panjang,
beruntung ini hari minggu sehingga dia bisa dengan bebas menghabiskan waktunya.
“Assalamu’alaikum
Wr Wb.
Bagaimana
kabarmu di ibukota mas? Aku harap kau selalu dalam keadaan sehat dan dalam
lindungan Allah. Lama sudah tak bertegur sapa denganmu, membuat aku bingung
harus darimana ku memulainya. Maaf jika aku telah lancang memasuki hidupmu
kembali, tapi aku hanya ingin melunasi hutang janji diantara kita dahulu.
Memberi kabar jika akan menikah.
Mas,
entah apa yang harus ku katakan. Selayaknya aku memulainya dengan kata maaf.
Maaf atas segala kekecewaanmu dulu padaku. Maaf atas ketidakpastian akhir kisah
kita.
Sejak
dulu, benih-benih perasaan itu telah bersemi dalam taman hatiku. Hanya saja,
aku yang terlalu pengecut untuk mengakuinya, aku terlalu malu jika harus jujur
mengenai hatiku yang telah tertawan olehmu.
Seiring
berjalannya waktu ada berbagai sesal yang selalu saja membayangiku. Namun aku
sadar, tidak selayaknya aku memintamu menungguku untuk waktu yang tidak dapat
ku prediksikan. Kau harus tetap melanjutkan hidupmu, pencarianmu hingga kau
dapat segera bermuara pada dermaga yang tepat.
Jika
saja kau tau, aku menulis surat ini dengan hati yang penuh tentang. Kepergian
ayah, tidak sampai membuatku sesakit ini. Sakit dan sesal yang sampai saat ini
tak pernah hilang sejak saat aku mulai menyemai benih-benih cinta untukmu.
Aku
yakin, Tuhan selalu tahu yang terbaik untuk setiap manusia, termasuk di dalamnya
aku dan kamu mas. Meskipun dalam keyakinan itu, ada luka yang semakin hari
semakin bernanah. Maafkan aku.
Kau
tahu mas, ibu dan uwa ku di Lampung berniat menjodohkanku dengan seorang laki-laki.
Begitu sulit rasanya aku mengambil keputusan yang biasanya ku lakukan dengan
sangat mudah. Akhirnya aku menerima tawaran perjodohan ini meski dengan
pergulatan hati.
Aku
tahu hanya akan merusak suasana jika aku mengatakan semuanya. Tapi sungguh mas,
aku tidak ingin terus terpenjara dalam perasaan yang tak pernah kubebaskan.
Maafkan aku mencintaimu mas, maafkan aku. Bulan depan aku akan menikah. Aku
sangat mengharapkan kedatanganmu mas…..
Salam rindu sahabatmu,
Anneke
Lukman
- Satu Hati, Satu Cinta –
“Assalamu’alaikum.
Anne bagaimana kabarmu nak? Bunda harap kamu dalam keadaan sehat, aamiin. Ibu
bilang lusa dan dua minggu yang lalu kamu pulang ke Bandung ya? Maaf ya bunda
tidak bisa menyambutmu, bunda sedang ada dinas di Jogja, baru kemarin pulang.
Bunda ikut senang mendengar kamu akan segera menikah. Oh iya bunda punya satu
kabar untuk Anne, InsyaAllah bunda akan menikah, bulan depan. Ibu memberi saran
bagaimana kalau pernikahan bunda dan Anne disatukan? Sebelumnya bunda minta
maaf ya tidak meminta izin Anne terlebih dahulu untuk menikah.”
Rona di wajahnya seketika berubah
cerah, seperti ada suntikan kebahagiaan yang meskipun sedikit mampu menjadi
pengurang dukanya.
“Alhamdulillah,
Anne senang sekali mendengarnya bunda. Wah bunda ini, diam-diam penuh kejutan
ya. Ide bagus bunda, Anne setuju jika pernikahan kita digabungkan. Pasti akan
sangat seru. Bunda dapat menantu baru dan aku dapat ayah baru, hehe. Btw,
namanya siapa bun? Mau liat fotonya dong bun.”
Pesan balasan pun diterimanya, namun
kembali bahkan jauh lebih buruk dari sebelumnya. Air matanya kembali tumpah
jauh lebih deras.
Sebuah ketukan pintu dan ucapan
salam mengejutkannya, seorang teman berdarah Arab bingung melihat air mukanya
ketika membukakan pintu.
“Assalamu’alaikum. What happened with
you? Are you sick? I can accompany you to
go to doctor Anne”
“No, Zulaikha, No. I’m fine.”
“No dear, you are not fine. You look
so bad, you must be in trouble. Could you tell me? Or you need shoulder to
crying on? Please this.”
Tanpa
spasi Anne segera saja memeluk Zulaikha dan menangis sejadinya dalam dekapan
Zulaikha.
“You feel better Anne?”
“Yes, thank you Zulaikha. May I tell
you?”
“Yes honey, please.”
“Actually I’ll married next month,
but I never love him”
“Hei come on dear. You must belief,
one day, you can love your husband then.”
“Okay I know about that and I
belief. But someone that I love will married with my second mom at the same
time, next month”
“MasyaAllah. I’m sad to hear that.
But, lets by gones be by gones honey. Move on Anne. It’s only about time. I
trust you. You are strong woman, good person, and I proud with you. Allah love
you Anne. This is the best destiny for everyone, okay?”
“Thank you Zulaikha”
-
Satu Hati, Satu Cinta -
“Saya terima nikahnya Nina Purnawan
binti Suherman dengan mas kawin dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
Hatinya yang sudah dilem kuat-kuat
retak juga, bahkan telah hancur sama rata. Telinganya menjadi tuli oleh kalimat
ijab qobul yang diucapkan Hilman atas ibunya sendiri. Sampai Teguh menyentuh
tangannya dengan lembut, memberi isyarat bahwa dia telah sah menjadi istrinya. Anne
nampak panik, namun Teguh menatapnya dengan penuh kelembutan seperti
mengisyaratkan kata ‘tenanglah’.
-
Satu Hati, Satu Cinta -
“Anne, aku tahu kamu tidak pernah
mencintaiku.” Teguh membuka pembicaraan diatas tempat tidur mereka, untuk
pertama kalinya mereka berada dalam ruangan yang sama, dan hanya berdua.
“Maafkan aku mas. Kau pasti juga
sudah tau ada nama lain dihatiku dan jelas bukan namamu mas. Apakah kau ingin
menceraikanku mas? Aku terima, bahkan jika harus dimalam pertama kita.”
“Tidak Anne. Aku tidak pernah
memaksamu untuk mencintaiku, tapi setidaknya bisakah kau mencobanya?”
“Bagaimana jika aku tidak bisa mas?
Atau bahkan jika aku tidak mau?”
“Baiklah, tidak mengapa. Itu hak mu
Anne. Aku tidak berhak memaksakan kehendakku padamu. Bisa mencintaimu saja
sudah anugerah terindah, meski seumur hidup sekalipun cintaku tak akan pernah
berbalas. Tapi yang perlu kamu tahu, aku akan tetap berusaha membuatmu bahagia.
Aku hanya ingin melihat senyummu Anne.”
“Mas, mana mungkin bisa kau jatuh
cinta dengan orang yang baru saja kau kenal?”
“Kau salah Anne, aku sudah
mengenalmu sejak dulu, mungkin kamu yang tidak mengenalku.”
“Maksudmu mas?”
“Aku telah mengenalmu sejak kita
masih kuliah. Aku dan Hilman adalah sahabat karib. Diam-diam aku menaruh hati
denganmu namun aku segera mencoba menghilangkan perasaan itu, ketika aku tahu
kamu dan Hilman saling mencintai. Beruntung aku mendapat tawaran beasiswa di
kota lain dengan gambaran masa depan yang lebih cerah dan setidaknya aku bisa
kembali menata hatiku. Namun ternyata aku salah, dimanapun aku berada aku
selalu tidak dapat lepas dari bayanganmu. Sampai satu tahun setelah lulus aku
bertemu Hilman, dan aku ketahui akhir hubungan kalian. Kata Hilman, dia mencoba
meyakinkan perasaannya padamu. Berbekal dengan restu orang tua, dia coba
melamarmu. Tidak ada dalam kamus seorang Hilman kata pacaran. Namun kamu
menolaknya dengan alasan kalian masih kuliah dan kamu masih harus membiayai
adik-adikmu. Hilman sadar dia memang tidak bisa banyak berjanji, maka
pelan-pelanlah dia melangkah mundur. Sebenarnya Hilman ingin menunggumu tapi
Hilman sadar kamu tidak pernah memintanya menunggu terlebih kamu pantas
mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik darinya. Kira-kira satu setengah
bulan yang lalu, Hilman memberi kabar bahwa akan menikahi seorang wanita yang
ternyata ibumu. Dan saat itulah aku meminta izin padanya untuk mencoba
melamarmu melalui bantuan uwa Ros. Alhamdulillah Hilman mengizinkan. Anne, aku
tahu ini semua melukai hatimu, maafkan aku Anne.”
Teguh mengambil sebuah bantal dan
hendak tidur di atap lantai.
“Mas Teguh, maafkan aku. Aku terlalu
picik untuk melihat betapa mulianya dirimu. Aku tidak bisa berjanji akan segera
mencintaimu. Tapi bisakah kau sedikit bersabar? Tidak, tidak sedikit mungkin
banyak. Menumbuhkan cinta tidak semudah membalikkan telapak tangan. Aku ingin
mencobanya mas.”
“Alhamdulillah. Terimakasih Anne.
Aku akan menantimu, InsyaAllah. Tidurlah Anne, belum saatnya. Saat itu akan
tiba ketika kau sudah benar-benar yakin dan mencintaiku.”
“Terimakasih Mas”.